Kata
disiplin berasal dari bahasa Latin, discipulus, yang berarti “pembelajar”. Jadi
disiplin itu sebenarnya difokuskan pada pengajaran. Bagi orang tua kebanyakan,
seorang anak adalah murid dari para orang tuanya, sehingga mereka dibiasakan
untuk dapat mematuhi apa yang disampaikan oleh orang tua.
Pada masa kini, rata-rata orang tua menerapkan hukuman
sebagai metode untuk mendisiplinkan anak mereka. Terdapat berbagai macam
hukuman yang diberikan orang tua kepada anak. Ada hukuman yang dapat memberikan
dampak positif, namun ada juga yang dapat memberikan dampak negatif. Tidak
semua hukuman patut dan dapat digunakan dalam mendidik anak.
Sebenarnya hukuman dan disiplin adalah dua hal yang
berbeda. Hukuman biasanya diterapkan melalui cara ‘memaksa’ secara emosional
atau bahkan ada yang sampai menggunakan kekerasan. Hukuman mungkin bisa
diterapkan saat ini untuk meniadakan perilaku anak yang kurang baik atau tidak
diinginkan, tapi hukuman tidak menjamin bahwa perilaku tersebut tidak akan
muncul di kemudian hari.
Sementara disiplin seperti definisinya adalah suatu
pengajaran, anak diajarkan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari. Pada
pelaksanaannya biarkan anak memilih sendiri apa yang menjadi pilihannya dalam
bertindak agar ia pun ‘belajar’ mengenai akibat dari perbuatannya sendiri.
Dalam menerapkan kedisiplinan pada anak, ada banyak
hal yang harusnya dilakukan orang tua yang bersifat positif. Melatih anak
disiplin berarti menjaga komunikasi yang baik dan sehat dengan anak, memantau
perkembangan anak dari waktu ke waktu, dan mungkin bisa membuat semacam
‘peraturan kecil’ mengenai batasan perilaku anak. Misalnya, kita berkata pada
anak “kamu harus sopan”, tanpa kita menjelaskan seperti apa yang dimaksud dengan
sopan tersebut dan apa batasannya suatu perilaku dikatakan sopan dan tidak
sopan.
Ketika orang tua menetapkan ‘peraturan kecil’ yang
ditetapkan pada anak pun harus disesuaikan dengan kemampuan anak. Terkadang
orang tua tidak adil dalam menerapkan peraturan. Misalnya, ketika sakit tidak
boleh makan-makanan yang dilarang oleh dokter. Ketika anak sakit demam, maka
orang tua akan melarang mereka makan ice cream. Lalu, pada saat
bersamaan orang tua pun sedang sakit batuk namun orang tuanya makan gorengan.
Anak mungkin ada yang langsung merespon “Ayah kan lagi batuk, kenapa makan
gorengan? Kan ngga boleh?”. Kebanyakan orang tua akan menanggapi dengan alasan
yang membuat anak akhirnya menerima bahwa hal tersebut tidak salah. Ketika anak
melanggar hal tersebut maka orang tua akan menilai bahwa perilaku tersebut
salah, tapi ketika orang tua yang melanggarnya, mereka memiliki beragam alasan
yang menurut mereka masuk akal dan mau tidak mau anak harus menerima bahwa
orang tuanya tidak salah. Anak seolah dipaksa untuk mengerti dan memahami orang
tuanya tanpa mempertimbangkan kemampuan anak itu sendiri.
Contoh lainnya, anak dilarang menonton televisi hingga
larut malam. Tetapi orang tuanya justru mencontohkan hal tersbut. Maka anak
akan bertanya-tanya dalam benaknya, kenapa orang tua boleh sementara ia tidak.
Di dalam rumah, anak belajar dari orang tuanya. Mereka akan melihat hubungan
sebab akibat yang muncul, misalnya ketika mereka salah mereka akan dihukum
dengan dimarahi. Secara tidak langsung, hal tersebut akan diterjemahkan oleh
anak dalam pikirannya sendiri. Jika tidak ada penjelasan dari orang tua, maka
jangan heran atau kaget jika suatu hari nanti anak akan marah ketika ia
menganggap sesuatu salah atau tidak sesuai dengan yang diinginkannya. Kalau ada
penerapan disiplin pada anak-anak, mungkin dibutuhkan pula penerapan disiplin
pada orang tua.
Pondok
Adzkia, 04 April 2012
17.02